Beberapa
hari yang lalu, saya sedang bermain dengan anak saya. Dia sedang asyik bermain
mobil-mobilan.
“Beem
beeemm beeemmm,” ucapnya mengikuti suara yang saya ajarkan. Harusnya breem
breemm breemmm. Hingga entah di brem brem brem keberapa, mobilnya meluncur beberapa
meter dari tempatnya bermain.
“Aaaaaak,”
teriaknya ke arah saya.
Sebagai
ayah yang baik, saya merespon balik,”Ayo Nak diambil mainannya.” Saya ucapkan
dengan intonasi yang lembut dan penuh kasih sayang. Berharap dia akan mengambil
mainannya sendiri.
Tapi tak
disangka-sangka, respon yang keluar dari bibir mungilnya adalah,”Ambik, ambik,”
ucapnya sambil menirukan saya. Sambl tangannya menunjuk mainannya.
Lalu
saya ulangi dengan lebih lembut,”Ayo sayang, diambil mainannya.”
Responya
masih sama,”Ambik, ambik, ambik.”
Istri
saya hanya mesam-mesem. Lalu saya menggaruk-garuk kepala yang kebetulan gatal.
“Nggak
gitu Mas. Kalo mau anaknya melakukan sesuatu, ya dikasih contoh. Jangan cuma disuruh
saja. Tapi nggak dikasih tahu caranya.”
Jleb.
Saya yang baru tahu hanya manthuk-manthuk saja.
“Ayo
Nak kita ambil mainannya,” ajak saya sambil mbrangkang menuju mainannya.
Awalnya
dia tidak merespon. Lalu saya ulangi, tetapi dengan wajah yang lebih excited.
Dan akhirnya
dia ikut mbrangkang juga. Lalu kami berlomba mbrangkang menuju mainannya.
Dari
situ saya belajar, bahwa contoh yang nyata akan lebih efektif dari sebuah
ucapan.
Karena
akan terlihat konyol ketika anak dilarang main HP, tapi ortunya main HP sambil
leyeh-leyeh.
Akan terlihat
ganjil pula ketika nyuruh anak tidur, tapi ortunya nggak ada yang tidur.
Ngerti???
Ngana Ngerti??? |